Seni rupa, sebagai sebuah entitas kesenian yang lentur dan terbuka, memiliki sifat dasarnya yang makin hari makin tak terbendung menerima pluralitas nilai-nilai. Hal tersebut semakin menarik untuk dicermati, apalagi ditunggangi oleh berbagai kepentingan arus utama posmodernisme yang mengacu atas nama bagaimana seni rupa dibaca ulang tak hanya sebagai keperluan estetika an sich semata.
Ini juga berlaku dengan makin ditinggalkannya paradigma kuno art for art shake (seni dicipta sebagai hanya untuk kelangsungan hidupnya sendiri). Kita bisa menjadi saksi, misalkan sejak tampilnya karya Duchamp yang menghebohkan dunia di Amerika dengan mengusung kloset ke ruang pameran untuk menyindir produk budaya masa, atau almarhum Semsar Siahaan dengan G-8 Pizza-nya mengolok-olok dominasi kelompok negara-negara utara yang mengeksploitasi dunia berbentuk karya rupa limas segi delapan dari kardus di Galeri Nasional Indonesia tahun lalu.
Belum lagi, dalam kaitannya dengan realitas material, seni rupa memiliki sifat ambigunya sebagai sebuah produk industri ”life style” dan mereproduksi makna-makna yang kadang kerap”membingungkan”, namun toh tetap bisa dikomersialkan. Alih-alih, menyerap fenomena cara berpikir kesenian Barat, malah menimbulkan terdepaknya seni tradisi atau semakin tak tersentuhnya seni lokal yang berakar pada spiritualitas, yang notabene adalah elemen penting tempat bersandarnya jiwa manusia selain kebutuhan keindahan fisik. Dengan sifat pluralitasnya itu pula, seni rupa terancam akan bagaimanakah sifatnya di masa depan yang serba tak terkontrol dan dianggap sebagai produk yang dianggap ”sah-sah saja” ditampilkan di publik dalam konsep, misi, format dan bentuk ekspresi apa pun. Tak ada penentu nilai yang paling sahih dan dijadikan pegangan pasti untuk mengenalnya sebagai sebuah karya dari budi dan daya insan seni manusia Indonesia.
Perlu adanya sebuah paradigma khusus yang akan memandu membedakannya. Maka, di sini dibutuhkan kajian ilmu pengetahuan yang serius namun kontekstual sebagai jembatan pengertian atas proses berkesenian yang tak terjerumus pada ”pencanggihan” wacana ataupun konsep-konsep yang diusung oleh para penggiat seni yang cenderung memiliki arah ”penyesatan” kepada publik. Untuk menampilkan parasnya yang utuh dan tak sekedar dipergelarkan, kita mau tidak mau akan menengok pada bagaimana sejatinya tugas yang diemban oleh kritik seni rupa kita? Terutama dalam relasinya dengan nilai-nilai ke-Indonesiaan, hal ini sudah tak bisa lagi ditinggalkan sifat urgensinya.
Mengingat sebagai suatu kebutuhan hidup, seni rupa telah merambah ke berbagai bidang kehidupan, dan menjadi suatu kebutuhan yang sama pentingnya dengan kebutuhan lainnya.
Dunia seni rupa Indonesia sudah selayaknya mempunyai nilai-nilai khusus tersendiri untuk menjawab ini. Mengutip ahli sejarah, Yudoseputro, bahwa dunia seni secara hakiki pada dasarnya memang memperlihatkan kandungan persepsi yang luas yang mencerminkan identitas profilnya yang tidak tunggal sehingga setiap jawaban dari permasalahannya memunculkan berbagai substansi yang kait-mengkait.
Maka menjadi lazim, jika tuntutan perhatian terhadap kritik seni rupa dewasa ini tampaknya semakin meluas, dan tidak hanya dimonopoli lagi oleh lembaga-lembaga yang secara konvensional menyelenggarakan pendidikan tinggi di bidang seni rupa saja. Perhatian terhadap kritik seni rupa sebagai suatu masalah ilmu pengetahuan mandiri yang terelasi dengan disiplin-disiplin ilmu lain, misalnya antropologi, sosiologi, psikologi, filsafat dan sejarah semakin berkembang. Maraknya tulisan-tulisan kritik jurnalistik di media massa, internet, buletin seni rupa dan jurnal khusus yang membahas fenomena-fenomena yang terjadi di dunia seni rupa Indonesia dengan sumber rujukan kajian-kajian teranyar semisal culture studies adalah sebagai bukti.
Kerangka kritik yang diaplikasikan dari sumber berbagai disiplin keilmuan itu, tentu saja, secara paradigmatik dijaga dengan gugusan teori, konsep, dan metode yang secara spesial melekat pada konvensi ilmu yang bersangkutan sebagai acuannya, yakni pendekatan kritik yang bersifat monodisipliner; yang karena itu sangat monolitik sifatnya. Dengan demikian, upaya untuk memulai memberikan perhatian pada kritik seni rupa dengan membuka pintu terhadap ilmu seni (science of art) dari berbagai disipliner ilmu akan memberi sumbangsih rumusan paradigma baru yang lentur, luwes, berasas lintas sektoral, dan multidisiplin. Seni rupa sebagai sebuah gejala seni yang kompleks dan plural, memerlukan juga kritik seni rupa dengan kajian perbandingan yang setara dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Pada prinsipnya kajian tersebut memerlukan main theory mendasar, dan ini berimbas dari hasil studi berbagai disiplin ilmu yang didudukkan secara bersama. Atau boleh disebut sebagai reaksi atas asas keterpaduan antar-ilmu yang telah bermetamorfosis ini, berupa Metateori mandiri yang sekaligus teruji untuk menjadi wawasan mantap yang dapat memberi tempat utama sebagai alat penguji. Metateori inilah yang akan menjadi kerangka acuan yang disebut paradigma kritik seni rupa, yakni sebuah perangkat karakteristik keyakinan dan prakonsepsi, yang kemudian mencakup komitmen bersama (mind set/cara berpikir bersama) dalam mengimplementasikannya secara instrumental, teoretik, bahkan dalam jangkauan metafisik sekalipun.
Dengan pertimbangan di atas, perlu dirasakan urgensinya menyusun suatu prosedur penelitian dan pengujian terhadap metodologi yang digunakan dalam penelitian kritik seni rupa yang berkembang ke arah yang semakin kompleks.
Fenomena tersebut, tampaknya secara serta-merta sejalan dengan perkembangan dalam disiplin-disiplin ilmu lain, misalnya dalam ilmu pengetahuan sosial yang menawarkan sejumlah paradigma alternatif dalam penelitian, dari pijakan filsafat ilmu pengetahuannya yang bergeser dari posisi positifisme (analisis ilmu pengetahuan alam) menuju keposisi yang kompleks (dimasukkannya disiplin ilmu-ilmu humaniora atau bahkan metafisika dalam membedah ilmu pengetahuan sosial).
Pada akhirnya nanti, kritik seni rupalah dengan pengayaan dari berbagai inter disipliner ilmu dengan seluruh hasilnya—proyek penelitian, penerbitan jurnal, tulisan katalog pameran, seminar dan pendidikan khusus, penerbitan buku sejarah atau filsafat seni Indonesia, buku pedoman yang menjadi pegangan pelaksana kebijakan publik seni rupa oleh pemerintah dll—yang akan memberi gambaran secara gamblang dan tidak bersifat eksklusif terhadap identitas dan karakteristik yang bagaimanakah anatomi dunia seni rupa kita sekarang ini, selain bisa menjelaskan seberapa jauhkah pluralitas yang disandangnya.
Out put dari ”perkawinan-kesetaraan inter disipliner” metode di atas, sepenuhnya tugas penting dan tanggung jawab bersama di antara elemen-elemen yang membentuk art world kita, terutama kalangan ilmuwan seni.
Di antaranya boleh disebut sejarawan seni, kritikus, kurator, mahasiswa yang memiliki minat pada penelitian kritik seni rupa ataupun para pekerja seni secara umum dan tentu saja peran pemerintah untuk memfasilitasi.
Kritik seni rupa menjadi sebuah ”mantra utama” yang terukur dan menjadi pegangan identitas seni rupa kita. Lebih dari sekadar digunakan sebagai media ”komentator” berbagai pameran lukisan parsial berupa tulisan di katalog atau ”akrobat wacana” untuk karya kontemporer misalnya di berbagai ruang-ruang seni publik.
Namun, secara langsung menjadi sumber utama cara memandang atau berpikir dalam memahami dinamika pluralitas seni rupa dewasa ini. Semua ini, tentu membutuhkan energi yang luar biasa dari kita bersama untuk tanpa henti memperjuangkan keberadaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar