Fungsi Patung Bagi Suku Dayak
Suku Dayak mengenal seni pahat patung yang berfungsi sebagai ajimat, kelengkapan upacara atau sebagai alat upacara.
Patung Ajimat
Patung sebagai ajimat terbuat dari berbagai jenis kayu yang dianggap berkhasiat untuk menolak penyakit atau mengembalikan semangat orang yang sakit.
Patung sebagai ajimat terbuat dari berbagai jenis kayu yang dianggap berkhasiat untuk menolak penyakit atau mengembalikan semangat orang yang sakit.
Patung Kelengkapan Upacara
Patung-patung kecil untuk kelengkapan upacara biasanya digunakan saat pelaksanaan upacara adat seperti pelas tahun, kuangkai, dan pesta adat lainnya. Patung kecil ini terbuat dari berbagai bahan, seperti kayu, bambu hingga tepung ketan.
Patung-patung kecil untuk kelengkapan upacara biasanya digunakan saat pelaksanaan upacara adat seperti pelas tahun, kuangkai, dan pesta adat lainnya. Patung kecil ini terbuat dari berbagai bahan, seperti kayu, bambu hingga tepung ketan.
|
Patung Alat Upacara
Patung sebagai alat upacara contohnya adalah patung blontang yang terbuat dari kayu ulin. Tinggi patung antara 2 – 4 meter dan dasarnya ditancapkan kedalam tanah sedalam 1 meter.
Patung sebagai alat upacara contohnya adalah patung blontang yang terbuat dari kayu ulin. Tinggi patung antara 2 – 4 meter dan dasarnya ditancapkan kedalam tanah sedalam 1 meter.
Motif Pahatan Suku Dayak
Suku Dayak memiliki pola-pola atau motif-motif yang unik dalam setiap pahatan mereka. Umumnya mereka mengambil pola dari bentuk-bentuk alam seperti tumbuhan, binatang serta bentuk-bentuk yang mereka percaya sebagai roh dari dewa-dewa, misalnya Naang Brang, Pen Lih, Deing Wung Loh, dan sebagainya.
Suku Dayak memiliki pola-pola atau motif-motif yang unik dalam setiap pahatan mereka. Umumnya mereka mengambil pola dari bentuk-bentuk alam seperti tumbuhan, binatang serta bentuk-bentuk yang mereka percaya sebagai roh dari dewa-dewa, misalnya Naang Brang, Pen Lih, Deing Wung Loh, dan sebagainya.
DIMANA SENI PATUNG DI JAWA BARAT
Seni selalu hadir pada setiap periode sejarah manusia dengan keaneka ragaman ekspresinya. Sebagai salah satu produk budaya, kesenian selalu mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Karya-karya seni yang kita warisi tidak saja berbeda dari jaman ke jaman, dari satu ruang kebudayaan ke ruang kebudayaan yang lain, juga di dalam kebudayaan yang sama pun terdapat aliran-aliran yang berbeda, malah kadang-kadang sejajar pada waktu yang sama.
Perkembangan yang terjadi berawal dari pandangan manusia yang selalu dinamis dalam ide, yang terefleksi dalam proses dan berakhir pada terbentuknya wujud karya seni. Pendapat tentang apa itu seni nampaknya akan terus berkembang tergantung dari sudut mana mereka memandang. Puluhan definisi, atau ratusan, bahkan ribuan definisi seni akan lahir. Kita dapat membayangkan betapa sulit mencari definisi seni mana yang dijadikan pegangan.
Bila kita bertitik tolak berdasarkan pendapat bahwa seni adalah ungkapan pikiran dalam suatu bentuk nyata, maka kemungkinan penyebab perubahan aliran/style dikarenakan adanya perubahan di dalam kesadaran manusia. Dengan demikian karya seni mencerminkan cara berpikir dan pengalaman subjektif pada suatu masa tertentu.
Seni patung sebagai salah satu cabang seni rupa telah hadir jauh sebelum manusia mengenal peradaban modern seperti sekarang. Di zaman itu patung dihadirkan sebagai alat ritual dan dianggap sebagai benda keramat serta disucikan. Sekarang patung telah mengalami perubahan, baik dari segi fungsi, material dan perwujudan bentuk. Patung tidak lagi mencerminkan simbol komunal melainkan bergeser sebagai medium aspirasi pribadi si pematung.
Awal pertumbuhan seni patung di Indonesia diilhami oleh semangat nasionalisme. Tradisi pembuatan patung kepahlawanan di Yogyakarta berlanjut di Jakarta. Identitas patung kepahlawanan dengan gaya realis masih terus diterapkan pada patung-patung monumen yang ditempatkan dibeberapa sudut yang strategis di wilayah kota Jakarta. Dalam hal ini Presiden Soekarno sebagai pecinta seni dan pembina seni sangat berperan dalam menentukan tema dan gaya ekspresi patung.
Para pematung berusaha memberikan interpretasi bentuk dalam batas-batas pesan yang telah dirumuskan dalam bahasa bentuk patung yang mampu membakar semangat perjuangan. Dalam kondisi proses cipta semacam ini karya pematung memang tampak kehilangan kemandiriannya dan kehilangan kebebasan sebagai ciptaan pribadi.
Pertumbuhan seni patung di Indonesia kini cenderung berjalan sendiri-sendiri. Sekelompok pematung konvensional sengaja mempertahankan ideologi pasar sebagai alternatif untuk memenuhi kebutuhan investor dan kolektor seni. Sementara kelompok yang menyatakan diri sebagai pematung “modern”, perjalanannya mengarah dan berkiblat kepada konsepsi. Konsepsi yang bertolak pada penonjolan ide, kini merambah dalam berbagai multi; dari multi media sampai multi idea. Instalasi yang mula-mula tumbuh dari tradisi seni patung, telah membaur dengan instalasi dari jurusan yang lain yang sama-sama produk seni rupa kontemporer.
Jelajah Seni Patung Masa Kini
Sekitar paruh pertama 70-an sejumlah mahasiswa seni patung di perguruan seni rupa kita mulai mencoba menjelajahi kemungkinan-kemungkinan baru. Para mahasiswa itu menampilkan macam ragam eksperimen, melintas batas bunyi, bau, dan bahkan menempatkan tubuh sendiri sebagai medium. Eksperimen tersebut kerap didefinisikan “merespons” ruang. Bergesernya patung-patung tunggal ke instalasi, merupakan penjelajahan ruang tak terbatas dalam dunia seni patung itu sendiri.
Instalasi patung untuk pertamakalinya diperkenalkan oleh Jim Supangkat seorang mahasiswa studio seni patung ITB. Pada 1975 ia mengajukan Tugas Akhir berjudul “Kamar Seorang Ibu dan Anaknya”. Karya itu sama sekali melepaskan diri dari sensibilitas sebuah karya patung. Sensasi rupa yang hangat pada patung seperti; bentuk, barik, plastisitas, bergeser ke narasi yang terasa dingin. Muatan cerita tiba-tiba mengambil peran yang jauh lebih besar dari pada penjelajahan bentuk. Kepercayaan pada universitas ditinggalkan, dan ia beralih pada konteks tertentu. Inilah instalasi (patung) pertama walau pun istilah instalasi belum dikenal dimasa itu, diloloskan maju ke sidang akademi. Jim Supangkat lulus sangat memuaskan dengan karya tersebut.Pembaharuan dalam bidang seni patung ini terus berlanjut pada periode berikutnya yang diikuti oleh aksi-aksi dari sejumlah pematung-pematung muda lainnya (mahasiswa studio seni patung), baik di Bandung atau pun di Yogyakarta.
Memasuki abad 21, kita dihadapkan berbagai masalah sosial, budaya, politik, ekonomi, dan berbagai segi kehidupan yang berkaitan dengan moralitas. Maka munculah beberapa kelompok pematung muda mencoba menawarkan berbagai wacana dalam berbagai bentuk performance art, instalasi art dan collaboration art, sebagai pijakan berkarya. Mereka mencoba mengangkat berbagai wacana politik, sosial, ekonomi, moralitas dalam fenomena yang ia racik dalam multi media dan multi-idea. Mereka tidak lagi membatasi disiplin seni atau cabang seni yang terkotak-kotak oleh modernisme yang lahir dari dorongan untuk menjaga standar nilai estetik. Namun mereka berangkat dari keragaman tafsir dari realitas yang mereka rasakan bersama, sehingga karya-karya mereka bernuansa kehidupan sosial yang mengarah pada universalilasi gagasan, karena mereka nampaknya ingin melepaskan diri dari kungkungan individu yang terhimpit oleh ruang dan waktu.
Seni patung Sumatera Barat
Dalam peta budaya, pengertian “Sumatera Barat” harus dipandang sebagai suatu bentuk yang bercorak multi budaya. Maka pengertian “Seni Patung Sumatera Barat”, bukan berarti seni patung yang dibuat oleh orang Minang saja, tetapi seni patung yang mempunyai “roh” yang bernafaskan Sumatera Barat yang multi-budaya. Yang menjadi permasalahan kini, yakni bagaimana memberikan kehidupan terhadap seni patung yang punya nafas Sumatera Barat yang multi-budaya dan multi-tradisi tersebut.
Sebenarnya yang menjadi permasalahan bukan apa dan seperti apa “Seni Patung Sumatera Barat”, karena dalam mewujudkan karyanya bisa saja dalam bentuk apa pun, seperti; konvensional, modern atau wacana kontemporer, asalkan pematungnya paham dengan apa yang dibuat serta mampu mengkomunikasikannya pada si pengamat. Dan yang terpenting dari semua itu, perlu adanya perenungan apakah karya tersebut sudah memiliki kekhasan dan corak tersendiri dalam peta seni patung Indonesia.
Seni patung berlabel “Sumatera Barat” memang perlu untuk dipertanyakan. Seperti kalimat yang tertera pada judul makalah ini “Dimana Seni Patung Sumatera Barat…?” memiliki makna ambigu, bisa jadi mempertanyakan dimanakah atau sudah muncul atau belumkah seni patung di Sumatera Barat, atau bisa juga memiliki makna bagaimana eksistensi seni patung Sumatera Barat dalam peta perkembangan seni patung Indonesia.
Bila kita melihat perkembangan seni patung di Yogyakarta dan Bandung yang merupakan kota sentra seni di Indonesia, ternyata sebagian besar dari pematungnya yang telah mempunyai nama besar dalam bidang seni patung di Indonesia adalah orang Minang. Nama-nama tersebut diantaranya; Syahrizal Koto, Kasman KS, Rudi Mantofani, Handiwirman, Yusra Martunus, dll (di Yogyakarta) dan Amrizal Salayan (di Bandung). Bagaimana andil pelaku seni khususnya pematung yang berada di kampung halaman (Sumatera Barat) dalam peta seni patung Indonesia?
Sesungguhnya kehidupan seni patung yang sudah berlangsung sejak jaman prasejarah telah memasuki era baru dalam perkembangannya di Indonesia dan merupakan bagian dari kehidupan seni rupa yang terutama mempergunakan media ruang, bentuk, garis dan warna.
Persoalan pematung bukanlah hanya menciptakan karya-karya berkualitas. Di dalam menjalankan profesinya ia akan selalu berhadapan dengan persoalan yang berhubungan dengan masalah hak dan kewajibannya sebagai seorang pematung, yang seringkali cukup rumit dan pada kenyataannya banyak diantara pelaku seni baik seniman, kolektor, galeri serta masyarakat umum memiliki pemahaman yang sangat minim mengenai hal ini.
Pengkayaan bahasa seni rupa merupakan kebutuhan agar penghayatannya dapat semakin meluas ke arah berbagai media sehingga terbuka kemungkinan untuk memperkaya imajinasi dan kemampuan berekspresi. Kebebasan mencipta bagi seniman merupakan hak azazi yang perlu dipertahankan dalam kehidupan berkesenian pada umumnya dan merupakan bagian dari kebebasan manusia secara keseluruhan.
Dengan menyadari semua itu, dengan kesadaran dan tanggung jawab yang mendalam, baik sebagai pribadi maupun warga bangsa, para pematung Indonesia membentuk suatu wadah kegiatan yang bernama Asosiasi Pematung Indonesia disingkat API, yang terbentuk tanggal 7 Juli 2000 berkedudukan di Yogyakarta (API Pusat), untuk selanjutnya diberbagai daerah di seluruh Indonesia dapat didirikan API Daerah.
Adapun API bertujuan untuk membina dan mengembangkan seni patung di Indonesia dengan: a. meningkatkan kreativitas, kemampuan teknis dan kemampuan intelektual para pematung, b. meningkatkan kesadaran berorganisasi dikalangan para pematung, c. meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap seni patung. Inisiatif kegiatan adalah mengupayakan pertemuan antar para seniman, dan antara seniman dan para pakar dibidang lain, baik dalam cakupan lokal, nasional maupun internasional, dalam rangka meningkatkan kreativitas berkarya dan juga untuk mengembangkan pemikiran dan memperluas wawasan.
Berkaitan dengan itu, Asosiasi Pematung Indonesia cabang Sumatera Barat yang terbentuk pada tanggal 25 Februari 2005 yang lalu mencoba memanfaatkan wadah API sebagai tempat berkumpulnya seniman patung yang berada di Sumatera Barat, dan mengajak pematung senior ataupun para pematung pemula, serta yang berminat dalam bidang seni patung untuk ikut bergabung dan saling bertukar pikiran dalam bidang seni patung, demi memajukan seni patung di Sumatera Barat.
Salah satu program API Sumatera Barat adalah melaksanakan kegiatan pameran seni patung yang Alhamdulillah kegiatan tersebut saat ini sedang berlangsung yang sekaligus merupakan pameran I API Sumatera Barat. Apakah pameran yang bertema “ Jelajah Patung Dalam Tradisi Minang” yang sedang berlangsung ini dapat menjawab minimal sebagian dari jawaban yang kita butuhkan? Jawabannya ada pada kita semua.(*)
(Disampaikan pada diskusi seni patung, Pameran Patung Jelajah Ruang dalam Tradisi Minang Asosiasi Pematung Indonesia / API Sumatera Barat, 20 September 2006 di Taman Budaya Padang)
Perkembangan yang terjadi berawal dari pandangan manusia yang selalu dinamis dalam ide, yang terefleksi dalam proses dan berakhir pada terbentuknya wujud karya seni. Pendapat tentang apa itu seni nampaknya akan terus berkembang tergantung dari sudut mana mereka memandang. Puluhan definisi, atau ratusan, bahkan ribuan definisi seni akan lahir. Kita dapat membayangkan betapa sulit mencari definisi seni mana yang dijadikan pegangan.
Bila kita bertitik tolak berdasarkan pendapat bahwa seni adalah ungkapan pikiran dalam suatu bentuk nyata, maka kemungkinan penyebab perubahan aliran/style dikarenakan adanya perubahan di dalam kesadaran manusia. Dengan demikian karya seni mencerminkan cara berpikir dan pengalaman subjektif pada suatu masa tertentu.
Seni patung sebagai salah satu cabang seni rupa telah hadir jauh sebelum manusia mengenal peradaban modern seperti sekarang. Di zaman itu patung dihadirkan sebagai alat ritual dan dianggap sebagai benda keramat serta disucikan. Sekarang patung telah mengalami perubahan, baik dari segi fungsi, material dan perwujudan bentuk. Patung tidak lagi mencerminkan simbol komunal melainkan bergeser sebagai medium aspirasi pribadi si pematung.
Awal pertumbuhan seni patung di Indonesia diilhami oleh semangat nasionalisme. Tradisi pembuatan patung kepahlawanan di Yogyakarta berlanjut di Jakarta. Identitas patung kepahlawanan dengan gaya realis masih terus diterapkan pada patung-patung monumen yang ditempatkan dibeberapa sudut yang strategis di wilayah kota Jakarta. Dalam hal ini Presiden Soekarno sebagai pecinta seni dan pembina seni sangat berperan dalam menentukan tema dan gaya ekspresi patung.
Para pematung berusaha memberikan interpretasi bentuk dalam batas-batas pesan yang telah dirumuskan dalam bahasa bentuk patung yang mampu membakar semangat perjuangan. Dalam kondisi proses cipta semacam ini karya pematung memang tampak kehilangan kemandiriannya dan kehilangan kebebasan sebagai ciptaan pribadi.
Pertumbuhan seni patung di Indonesia kini cenderung berjalan sendiri-sendiri. Sekelompok pematung konvensional sengaja mempertahankan ideologi pasar sebagai alternatif untuk memenuhi kebutuhan investor dan kolektor seni. Sementara kelompok yang menyatakan diri sebagai pematung “modern”, perjalanannya mengarah dan berkiblat kepada konsepsi. Konsepsi yang bertolak pada penonjolan ide, kini merambah dalam berbagai multi; dari multi media sampai multi idea. Instalasi yang mula-mula tumbuh dari tradisi seni patung, telah membaur dengan instalasi dari jurusan yang lain yang sama-sama produk seni rupa kontemporer.
Jelajah Seni Patung Masa Kini
Sekitar paruh pertama 70-an sejumlah mahasiswa seni patung di perguruan seni rupa kita mulai mencoba menjelajahi kemungkinan-kemungkinan baru. Para mahasiswa itu menampilkan macam ragam eksperimen, melintas batas bunyi, bau, dan bahkan menempatkan tubuh sendiri sebagai medium. Eksperimen tersebut kerap didefinisikan “merespons” ruang. Bergesernya patung-patung tunggal ke instalasi, merupakan penjelajahan ruang tak terbatas dalam dunia seni patung itu sendiri.
Instalasi patung untuk pertamakalinya diperkenalkan oleh Jim Supangkat seorang mahasiswa studio seni patung ITB. Pada 1975 ia mengajukan Tugas Akhir berjudul “Kamar Seorang Ibu dan Anaknya”. Karya itu sama sekali melepaskan diri dari sensibilitas sebuah karya patung. Sensasi rupa yang hangat pada patung seperti; bentuk, barik, plastisitas, bergeser ke narasi yang terasa dingin. Muatan cerita tiba-tiba mengambil peran yang jauh lebih besar dari pada penjelajahan bentuk. Kepercayaan pada universitas ditinggalkan, dan ia beralih pada konteks tertentu. Inilah instalasi (patung) pertama walau pun istilah instalasi belum dikenal dimasa itu, diloloskan maju ke sidang akademi. Jim Supangkat lulus sangat memuaskan dengan karya tersebut.Pembaharuan dalam bidang seni patung ini terus berlanjut pada periode berikutnya yang diikuti oleh aksi-aksi dari sejumlah pematung-pematung muda lainnya (mahasiswa studio seni patung), baik di Bandung atau pun di Yogyakarta.
Memasuki abad 21, kita dihadapkan berbagai masalah sosial, budaya, politik, ekonomi, dan berbagai segi kehidupan yang berkaitan dengan moralitas. Maka munculah beberapa kelompok pematung muda mencoba menawarkan berbagai wacana dalam berbagai bentuk performance art, instalasi art dan collaboration art, sebagai pijakan berkarya. Mereka mencoba mengangkat berbagai wacana politik, sosial, ekonomi, moralitas dalam fenomena yang ia racik dalam multi media dan multi-idea. Mereka tidak lagi membatasi disiplin seni atau cabang seni yang terkotak-kotak oleh modernisme yang lahir dari dorongan untuk menjaga standar nilai estetik. Namun mereka berangkat dari keragaman tafsir dari realitas yang mereka rasakan bersama, sehingga karya-karya mereka bernuansa kehidupan sosial yang mengarah pada universalilasi gagasan, karena mereka nampaknya ingin melepaskan diri dari kungkungan individu yang terhimpit oleh ruang dan waktu.
Seni patung Sumatera Barat
Dalam peta budaya, pengertian “Sumatera Barat” harus dipandang sebagai suatu bentuk yang bercorak multi budaya. Maka pengertian “Seni Patung Sumatera Barat”, bukan berarti seni patung yang dibuat oleh orang Minang saja, tetapi seni patung yang mempunyai “roh” yang bernafaskan Sumatera Barat yang multi-budaya. Yang menjadi permasalahan kini, yakni bagaimana memberikan kehidupan terhadap seni patung yang punya nafas Sumatera Barat yang multi-budaya dan multi-tradisi tersebut.
Sebenarnya yang menjadi permasalahan bukan apa dan seperti apa “Seni Patung Sumatera Barat”, karena dalam mewujudkan karyanya bisa saja dalam bentuk apa pun, seperti; konvensional, modern atau wacana kontemporer, asalkan pematungnya paham dengan apa yang dibuat serta mampu mengkomunikasikannya pada si pengamat. Dan yang terpenting dari semua itu, perlu adanya perenungan apakah karya tersebut sudah memiliki kekhasan dan corak tersendiri dalam peta seni patung Indonesia.
Seni patung berlabel “Sumatera Barat” memang perlu untuk dipertanyakan. Seperti kalimat yang tertera pada judul makalah ini “Dimana Seni Patung Sumatera Barat…?” memiliki makna ambigu, bisa jadi mempertanyakan dimanakah atau sudah muncul atau belumkah seni patung di Sumatera Barat, atau bisa juga memiliki makna bagaimana eksistensi seni patung Sumatera Barat dalam peta perkembangan seni patung Indonesia.
Bila kita melihat perkembangan seni patung di Yogyakarta dan Bandung yang merupakan kota sentra seni di Indonesia, ternyata sebagian besar dari pematungnya yang telah mempunyai nama besar dalam bidang seni patung di Indonesia adalah orang Minang. Nama-nama tersebut diantaranya; Syahrizal Koto, Kasman KS, Rudi Mantofani, Handiwirman, Yusra Martunus, dll (di Yogyakarta) dan Amrizal Salayan (di Bandung). Bagaimana andil pelaku seni khususnya pematung yang berada di kampung halaman (Sumatera Barat) dalam peta seni patung Indonesia?
Sesungguhnya kehidupan seni patung yang sudah berlangsung sejak jaman prasejarah telah memasuki era baru dalam perkembangannya di Indonesia dan merupakan bagian dari kehidupan seni rupa yang terutama mempergunakan media ruang, bentuk, garis dan warna.
Persoalan pematung bukanlah hanya menciptakan karya-karya berkualitas. Di dalam menjalankan profesinya ia akan selalu berhadapan dengan persoalan yang berhubungan dengan masalah hak dan kewajibannya sebagai seorang pematung, yang seringkali cukup rumit dan pada kenyataannya banyak diantara pelaku seni baik seniman, kolektor, galeri serta masyarakat umum memiliki pemahaman yang sangat minim mengenai hal ini.
Pengkayaan bahasa seni rupa merupakan kebutuhan agar penghayatannya dapat semakin meluas ke arah berbagai media sehingga terbuka kemungkinan untuk memperkaya imajinasi dan kemampuan berekspresi. Kebebasan mencipta bagi seniman merupakan hak azazi yang perlu dipertahankan dalam kehidupan berkesenian pada umumnya dan merupakan bagian dari kebebasan manusia secara keseluruhan.
Dengan menyadari semua itu, dengan kesadaran dan tanggung jawab yang mendalam, baik sebagai pribadi maupun warga bangsa, para pematung Indonesia membentuk suatu wadah kegiatan yang bernama Asosiasi Pematung Indonesia disingkat API, yang terbentuk tanggal 7 Juli 2000 berkedudukan di Yogyakarta (API Pusat), untuk selanjutnya diberbagai daerah di seluruh Indonesia dapat didirikan API Daerah.
Adapun API bertujuan untuk membina dan mengembangkan seni patung di Indonesia dengan: a. meningkatkan kreativitas, kemampuan teknis dan kemampuan intelektual para pematung, b. meningkatkan kesadaran berorganisasi dikalangan para pematung, c. meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap seni patung. Inisiatif kegiatan adalah mengupayakan pertemuan antar para seniman, dan antara seniman dan para pakar dibidang lain, baik dalam cakupan lokal, nasional maupun internasional, dalam rangka meningkatkan kreativitas berkarya dan juga untuk mengembangkan pemikiran dan memperluas wawasan.
Berkaitan dengan itu, Asosiasi Pematung Indonesia cabang Sumatera Barat yang terbentuk pada tanggal 25 Februari 2005 yang lalu mencoba memanfaatkan wadah API sebagai tempat berkumpulnya seniman patung yang berada di Sumatera Barat, dan mengajak pematung senior ataupun para pematung pemula, serta yang berminat dalam bidang seni patung untuk ikut bergabung dan saling bertukar pikiran dalam bidang seni patung, demi memajukan seni patung di Sumatera Barat.
Salah satu program API Sumatera Barat adalah melaksanakan kegiatan pameran seni patung yang Alhamdulillah kegiatan tersebut saat ini sedang berlangsung yang sekaligus merupakan pameran I API Sumatera Barat. Apakah pameran yang bertema “ Jelajah Patung Dalam Tradisi Minang” yang sedang berlangsung ini dapat menjawab minimal sebagian dari jawaban yang kita butuhkan? Jawabannya ada pada kita semua.(*)
(Disampaikan pada diskusi seni patung, Pameran Patung Jelajah Ruang dalam Tradisi Minang Asosiasi Pematung Indonesia / API Sumatera Barat, 20 September 2006 di Taman Budaya Padang)